2013-01-26

Meredakan Amarah



Meredakan Amarah

Ardiman Adami M.Psi
Magister Profesi Psikologi Universitas Islam Indonesia, Mantan Ketua Umum Imamupsi Komisariat Universitas Islam Indonesia
Alkisah dalam sebuah peperangan, Ali ibn Abu Thalib RA sukses mengalahkan lawannya. Ia berhasil memukul pedang sang lawan hingga terlempar, dan menjungkalkan tubuh lawannya itu hingga tak berkutik di tanah. Lalu, Ali menghunuskan ujung pedangnya di leher sang lawan, menunggu untuk menusukkannya.
Namun tiba-tiba, lawan yang tergeletak itu meludahi wajah Ali. Ali sangat kaget, seraya lekas mengusap lelehan air ludah lawannya itu dari wajahnya. Ali terdiam sesaat, kemudian menarik pedangnya dan beranjak pergi meninggalkan lawan yang masih terlentang di atas tanah.
Seseorang lalu bertanya heran mengapa Ali malah pergi dan bukan membunuh musuh yang sudah menyerah kemudian meludahinya. Ali menjawab, “Aku diludahi, maka timbul amarah dan benci dalam hatiku kepadanya. Karena itu aku meninggalkannya.” Ia melanjutkan, “Betapa marahnya Tuhan kepadaku jika aku membunuhnya karena amarah dan kebencian.”
Sebuah tindakan yang sungguh sulit dimengerti. Ketika musuh sudah tidak berkutik, kemudian menghina dengan meludahi muka, malah diampuni. Alasan Ali sederhana: jihad fî sabîlillâh yang dilakukannya akan ternoda jika membunuh atas dasar nafsu pribadi.
Bolehkah Kita Marah?
Mengubur nafsu amarah atau ingin membalas dendam, butuh perjuangan berat. Karena banyak fakta memperlihatkan, nafsu membunuh dan mengumbar dendam tak dapat terelakkan. Apalagi ketika emosi sudah mencapai ubun-ubun, ditambah jika ada kesempatan atau pihak yang memprovokasi.
Ketika marah, orang yang berhati lembut bisa lekas berubah sangar. Yang pengasih pun bisa beralih menjadi brutal. Begitulah. Manusia memang gudangnya khilaf dan dosa. Mata sempurna, tapi penglihatan tertutup.
Kemarahan, kalau tidak dikelola dengan hati-hati, cenderung akan membuat kitakebablasan. Karena itu, kemarahan sangat tak patut untuk diumbar. Bolehlah kita marah tapi hanya sewajarnya.
Aristoteles pernah mengungkapkan, “Siapapun bisa marah. Marah itu mudah. Tapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah.”
Sementara ini kita sering mendengar asumsi keliru masyarakat yang menyebutkan, melampiaskan amarah adalah salah satu cara mengatasi amarah. Dengan melampiaskan amarah, katanya, akan dapat membuat orang yang tengah marah menjadi lebih baik dan nyaman perasaannya.
Padahal sesungguhnya tidak demikian. Sebab, banyak penelitian justru membuktikan bahwa melampiaskan kemarahan sangat sedikit, bahkan tak ada hubungannya dengan upaya meredakan amarah. Meski dengan melampiaskan amarah, orang yang mengalaminya akan merasa terpuaskan.
Daniel Goleman, dalam Emotional Intelligence, mengungkap hasil penelitian ahli psikologi Diane Tice dari Case Western Research University, yang menemukan bahwa melampiaskan amarah merupakan salah satu cara terburuk untuk meredakan amarah.
Ledakan amarah, biasanya justru akan memompa perangsangan otak emosional. Akibatnya, orang justru akan menjadi lebih marah dan kehilangan rasionalitas, bukan berkurang, jika amarahnya dilampiaskan.
Dari cerita banyak orang mengenai saat-saat mereka melampiaskan amarah kepada seseorang, tindakan itu terbukti justru memperpanjang suasana marah. Bukan menghentikannya.
Yang jauh lebih efektif untuk dilakukan saat seseorang diradang amarah, adalah terlebih dahulu menenangkan diri. Kemudian, dengan cara yang lebih konstruktif dan terarah, ia harus menghadapi orang yang bersangkutan penyebab kemarahan, dengan kepala dingin dan hati tulus untuk menyelesaikan masalah.
Dalam sebuah artikel berjudul “Forgiveness”, yang diterbitkan Healing Current Magazine edisi September-Oktober 1996, disebutkan bahwa kemarahan terhadap seseorang atau suatu peristiwa, akan menimbulkan emosi negatif dalam diri yang mengalaminya, dan merusak keseimbangan emosional, bahkan kesehatan jasmani mereka.
Lebih lanjut dipaparkan, ada kecenderungan manusia dapat menyadari bahwa kemarahan yang meradang mereka, benar-benar mengganggu diri mereka. Kesadaran ini timbul beberapa saat setelah mereka menyadari kemarahannya. Biasanya, mereka cenderung berkeinginan memperbaiki kerusakan hubungan. Langkah yang diambil adalah dengan memaafkan.
Disebutkan pula, banyak orang terbukti tak ingin menghabiskan waktu-waktu berharga dari hidup mereka dalam kemarahan dan kegelisahan. Mereka cenderung lebih suka memaafkan diri sendiri dan orang lain.

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق